Senin, 13 September 2010

Cerita Blog

Hahaha, jadi ini terbuat karena saya dan Mbee (Striya) mencoba untuk berkonsultasi tentang novel yang akhirnya kita sepakatin untuk bikin Cerbog! hahahaaha, mbee, maaf ya baru bisa gue post sekarang, untuk kalian. enjoy ya dengan cerita tanpa judul indang :)



"UNTITLED"
Louis, Pearland City

Aku manarik nafas panjang dan melirik ke jam tangan yang kukenakan di sebelah kiri. Baiklah, aku sudah setengah jam menunggu disini dan dia masih belum datang. Untungnya di taman ini tidak begitu sepi, setidaknya bukan aku satu-satunya orang yang menunggu disini. Sepertinya seorang ibu-ibu sedang menunggu juga di bangku sebelah sana, entahlah.
Beberapa anak sesekali berlarian di depanku, dan setelah itu menyusul angin kencang. Aku merapatkan jaketku dan membetulkan syalku. Mungkin bila aku banyak bergerak seperti anak-anak itu, rasa dingin ini bisa sedikit hilang, tapi aku lebih memilih duduk. Ya, tempat ini yang ia janjikan, jadi aku harus bersabar untuk menunggunya. Sial, lama sekali!
Aku bersenandung kecil dan menggerakan kakiku searah sampai tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahuku. “Hey!” sapa Nathan. Ia mengambil tempat disebelahku. Ia terlihat lelah, sepertinya ia berlari menuju tempat ini.
“Kau sangat-terlambat! Aku sudah 30 menit disini. Apa kau tahu betapa dingin tempat ini? Aku bisa mati kedinginan. Telat sedikit lagi kau datang, mungkin aku sudah menjadi mayat yang membeku dalam es!” aku melipat tanganku. Baiklah, ucapanku sedikit berlebihan, ah tapi tak apa.
“Hahahaha, maaf maaf. Ada sesuatu yang menghambat. Lagi pula Clare, kau terlalu berlebihan.” Ucap Nathan yang berdampingan dengan tawanya. Aku memutar bola mataku dan sepertinya Nathan menyadari kejengkelanku.
“Memang ada apa?” tanyaku penasaran dengan apa yang menghambatnya sampai kesini.
Nathan menghembuskan nafasnya panjang dan pelan, ia tersenyum seakan aku tidak boleh tahu. Aku mengerutkan alisku, menyebalkan. Tapi tiba-tiba tangan Nathan mengusap kepalaku dengan senyum khasnya. “Disini dingin, ayo pulang!” ucapnya dan lalu segera bangkit. Aku mengikuti dari belakang, baiklah, jurusnya tadi berhasil mengalahkanku kembali dan mengubah topik. Nathan selalu begitu.
Apa aku belum memberitahu kalian? Nathanael Hubbard, atau yang biasa ku panggil Nat adalah kakakku. Ya, namaku juga memiliki ‘Hubbard’ dibelakangnya. Dia satu-satunya keluarga yang kumiliki setelah ayah meninggal saat sedang bekerja, serangan jantung. Sedangkan ibuku? Aku tidak tahu seperti apa, dia pergi tanpa berpamitan pada kami saat aku berumur 3 tahun dan anehnya aku sangat sulit untuk mengingat wajahnya. Semua foto ibu juga tidak ada, sepertinya ayah yang memindahkan semuanya, tapi entah kemana aku tidak tahu.
Semenjak ayah sudah tidak ada, aku hanya tinggal berdua dengan Nat. Nat berumur 26 tahun. Ia sudah menamatkan kuliahnya tapi dia memilih meneruskan kembali 1 tahun yang lalu. Dan sekarang, setelah kuliah, Nat harus bekerja untuk menghidupi dirinya dan aku. Kami tidak bisa terus bergantung dengan warisan ayah. Nat bekerja di sebuah kedai kopi, aku lebih suka menyebutnya kafe. Kau tahu, espresso dan coklat hangat buatannya sangat lezat. Yah, ditambah lagi dengan dirinya, menurut menejer kafe itu, pendapatan kafe itu bertambah karena Nat bekerja disana. Pengunjung bertambah dan didominasi oleh wanita. Tentunya aku tahu kenapa. Nat mempunyai tinggi badan sekitar 180-an dengan postur tubuh yang pas, cukup atletis. Wajahnya tampan dengan bola mata birunya. Sedangka rambutnya cepak. Sejujurnya aku merasa bangga mempunyai kakak sepertinya. Terlebih Nat sangat baik. Sungguh tidak ada yang bisa menggantikannya dan aku sangat menyayanginya.
Sekarang kami berada di mobil ayah. Nat memarkirnya sedikit agak jauh dari taman dan tepat berada di bawah pohon ek yang sepertinya sudah agak tua. Sepanjang perjalanan pulang Nat terus menceritakan kejadian lucu di tempat kerjanya tadi pagi (ia tidak ada kuliah hari ini). Ada yang memanggil dirinya tapi tidak memesan apa-apa sama sekali, bahkan ada yang meminta nomor ponselnya.
“Benarkah? Lalu kau berikan?” Tanyaku antusias dan aku berharap Nat tidak memberikannya.
Nat tersenyum disela-sela konsentrasi mengemudi, “Tentu tidak, untuk apa?” ia melirik kearahku sekarang dengan senyum gelinya.
Aku tertawa dengan nada meledek “mana kutahu, yah tapi mungkin… hmm, tidak tahulah! Hahahahahaha” tawaku semakin manjadi-jadi. Aku senang meledek Nat dan biasanya Nat akan membalas. Tapi kali ini Nat sedang berkonsentrasi dalam menyetir. Ia hanya menengok ke arahku dan menaikan sebelah alisnya lalu menggelengkan kepala, dan setelah itu, kembali fokus. Sedangkan aku menahan geli.
Mobil kami berhenti disebuah restoran cepat saji. Nat bilang ia akan mentraktirku disini atas permintaan maafnya karena terlambat dan membuatku menunggunya hingga ‘beku’. Nat memberikan penekanan saat ia mengatakan ‘beku’. Aku memesan hamburger dan french-fries juga cola dengan float. Sedangkan Nat hanya memesan double-cheese-burger dan cola (tanpa float).
“Clare?” Nat membuka topic pembicaraan. Aku hanya menggerakan kepala tanda kalau aku menjawab ‘ya’, yah, saat itu aku sedang meneguk cola-ku. “bukankah itu temanmu?”
Aku berbalik badan dan mencari orang yang Nat maksud. “Dimana? Siapa?” tanyaku selagi masih mencari.
“Diantrian kasir nomor dua. Holley? Mungkin iya.” Ucapnya. Holley? Ah itu dia! Benar, itu Holley dan pacarnya. Setelah memastikan kalau itu memang Holley tanpa menyapanya, aku kembali membalikan badan dan menghabiskan sisa kentang gorengku dengan cepat.
“Ada apa?” Tanya Nat tiba-tiba, sepertinya ia menyadari perubahan sikapku. Aku hanya mengangkat bahuku tapi Nat memaksa, “ayolah”
Aku menghela nafas panjang, “Dia bukan temanku sekarang!” ucapku singkat. Nat mengerutkan keningnya. Aku selesai menghabiskan kentangku lalu bangkit sambil membawa cola-ku yang yang masih banyak. Aku mengajak Nat ke mobil, aku akan menceritakan semuanya di perjalanan pulang dan Nat setuju.
“Hah, baiklah aku ceritakan. Hmm, kira-kira bulan Mei kemarin aku baru mengetahui sifat aslinya. Selama ini ia membicarakanku dibelakang dan menjelekanku tentunya. Satu bulan sebelum itu, ia mengajakku ke rumahnya. Disana ia memberikan sebuah catatan yang sejujurnya tidak kumengerti, dan setelah itu ia mengajakku ke ruang bawah tanah yang ternyata adalah tempat ayahnya bekertja. Ia bilang ayahnya melarang siapa pun masuk kecuali asistennya. Ia mengambil sebuah buku kecil yang diletakkan diatas meja kecil lalu kami kembali keatas. Setelah itu Holley menitipkan buku itu dan memintaku untuk menbawanya ke sekolah.” Aku menarik nafas kembali dan melirik kearah Nat, ia masih diam dan aku akan melanjutkannya.
“Besoknya sewaktu aku masuk ke kelas, beberapa siswa menuduhku hal yang sama sekali tidak benar. Mereka bilang aku membaca seenaknya catatan Holley, memaksa untuk masuk ke lab ayahnya, dan mencuri buku penting milik ayahnya. Baiklah itu menyebalkan, tetapi ada satu yang membuatku sangat kesal. Saat istirahat aku tidak sengaja mendengar Holley sedang menceritakan tentang hal-hal buruk itu kepada Nick, pacarnya sekarang. Dan aku tahu siapa dalang dari ini semua, hah, ternyata dia sendiri. Dan aku juga tahu sekarang kenapa ia melakukan itu. Aku dengar kalau Holley suka pada Nick tetapi Nick menyukaiku. Yah, masalah yang sepele. Jadi dia memfitnahku agar Nick membenciku. Hahahaha, memang berhasil, tapi setidaknya lebih banyak yang percaya padaku daripada dia.” Aku tertawa pahit begitu juga Nat.
“Kenapa lebih banyak yang percaya padamu?” Tanya Nat dengan nada meledek. Aku meliriknya sebal tapi setelah itu tertawa kembali.
“Mudah saja, dia bilang ‘mana ada pencuri yang mau mengaku’, lalu saat ia memintaku mengembalikan buku itu, aku hanya menunjukan buku itu ditanganku dan mengatakan ‘ini bukumu kan? Memang ada ditanganku. Nah jadi bagaimana, katamu pencuri tidak mungkin mengaku, tapi aku malah menunjukan ke semuanya. Jadi bagaimana?’. Aku mengatakan itu dengan senyum kemenangan. Dan lagi pula, beberapa teman di kelas juga satu sekolah dengannya sewaktu di smp, dan kudengar sifatnya sangat dibenci hampir satu sekolah. Hahahahaha” aku mengakhiri cerita dengan nada bangga. Memang benar, saat itu aku tidak merasa takut sama sekali karena aku memang benar. Untuk apa takut bila yang kamu lakukan itu benar?
Nat tersenyum lalu mnengelus kepalaku lagi, “hahaha, kau pintar! Itu baru adikku!”
“Selama ini aku juga adikmu!” ucapku meralat perkataan Nat.

* * *

Kami tiba di rumah pukul 9.15 p.m, begitulah yang ditunjukan jamku. Aku langsung naik ke atas untuk menaruh tasku dan entah mengapa aku sangat ingin mandi dengan air hangat. Jadi kuputuskan untuk mandi lalu hmm, menonton tv dibawah, mungkin.
Setelah selesai mandi, seperti niatku tadi, aku turun kebawah menuju ke ruang keluarga. Disana ada Nat yang ternyata sudah menyalakan perapian dan sepertinya sekarang ia sedang belajar. Ia menggunakan kaca matanya yang baru saja dia beli 2 bulan yang lalu. Aku yang memilihkan modelnya, meski pun sedikit berdebat, akhirnya Nat memilihnya juga, dan itu sangat cocok dengannya.
Aku berjalan kearah sofa dan mengurungkan niatku untuk menyalakan tv. Aku tidak ingin mengganggu konsentrasi Nat. Tapi saat aku duduk di sofa di depannya itu, Nat menghentikan aktifitasnya, memandangku sebentar lalu kembali tenggelan dalam soal-soal kimia, sepertinya. Aku melirik ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk menghibur diri.
“Nat?” Tanya ku ketika melihat laptopnya yang sepertinya tidak ia gunakan.
“Ada apa?” jawab Nat tanpa mengangkat wajahnya. Ia masih terus mengerjakan.
“Boleh aku pinjam Laptopmu?” puntaku dengan nada sedikit memohon dan mengeluarkan senyum. Yah, mungkin senyumku bisa membuatnya meminjamkan alat itu, karena selama ini, Nat melarangku menyentuh laptopnya.
Nat mengangkat wajahnya dan memandangku, “Yasudah, gunakan. Tapi dengan satu catatan, jangan membuka folderku!” ucapanya. Aku mengangguk lalu segera berjalan menuju laptopnya yang berada di meja kecil bundar di ujung ruangan. Aku menyalakan alat itu dan menghubungkannya dengan modem.
Aku membuka beberapa My Space temanku, membacanya dan kadang tertawa dan sepertinya cukup mengganggu konsentrasi Nat, karena setiap aku tertawa keras Nat berdehem untuk mengingatkanku. Nat memang orang yang menyenangkan, tapi bila sedang belajar, ia tidak ingin dingganggu. Aku ingat, suatu hari aku mengganggu Nat saat sedang belajar Matematika. Ia memperingatkanku untuk tidak mengganggunya tapi aku tidak mau mendengarkan itu, dan pada akhirnya ia marah. Itu pertama kali ia marah kepadaku dan sangat menyeramkan. Aku masih ingat badanku yang gemetar karena ketakutan. Setelah kejadian itu, aku bersumpah tidak akan pernah mengganggunya sampai ia marah lagi seperti saat itu. Aku janji.
Aku sedang tidak ingin mengisi My Space sendiri, jadi aku masih mencari page teman-temanku yang lain, sampai pada akhirnya aku menemukan milik Holley. Awalnya aku mencoba untuk tidak peduli, tapi tanganku terasa gatal dan akhirnya aku membukanya juga.
Page milik Holley itu didominasi dengan warna merah yang entah mengapa aku sangat benci melihatnya. Aku membaca beberapa tulisan yang ia tulis dan salah satunya menceritakan tentang diriku. Sial, ia mengataiku dengan semua hal yang sama sekali tidak benar. Bukankah dia sudah mendapatkan Nick? Untuk apa masih mengataiku? Apa itu semua belum cukup untuknya? Tanpa sadar aku mengepal tanganku karena sangat kesal, tetapi tiba-tiba aku merasakan sesuatu di belakangku.
“Anak itu sangat menyedihkan!” ucap Nat yang langsung membuatku tersentak dan hampir jatuh dari kursi kayu ini.Aku tidak tahu sejak kapan ia berdiri di belakangku, tapi sepertinya ia juga membaca apa yang Holley tulis tentang aku.
“Sejak kapan kau disana? Kau tahu? jantungku hampir copot karena kaget!” aku mengatur nafas karena aku memang benar-benar kaget, sedangkan Nat hanya tertawa dan kembali duduk di sofa. Ternyata ia sudah menyalakan tv dan sepertinya tugasnya sudah selesai.
“Sebelum kau membuka halaman milik Holley. Aku baru saja menyelesaikan tugasku dan melihatmu asik sendiri. Aku tidak tahu apa yang kau lihat, jadi kuputuskan untuk mengintip. Bahkan sepertinya suara tv tidak mengganggumu ya Clare? Hahahaha.” Jelas Nat sambil memilih channel yang bagus. Ia melewatkan beberapa film, yah film-film itu kurang menarik karena sudah diulang berulang kali. Setelah lama mencari, Nat berhenti di sebuah channel yang berisi berita.
“Kemarin dikabarkan kembali adanya orang hilang. Seperti kasus-kasus sebelumnya, tidak ditemukan satu pun jejak. Tetapi, dari semua kasus, polisi menemukan sebuah lambang yang sama disetiap kasus. Hingga saat ini polisi masih mencari orang-orang yang menghilang tersebut. Menurut kepala polisi Grady Huge, polisi aka bekerja sama dengan FBI untuk memecahkan kasus ini. Sekian berita kali ini, kami akan kembali satu jam kedepan.”
Nat mematikan tv setelah berita itu selesai, lalu berjalan kembali ke arahku. “Aku penasaran dengan lambang yang ditinggalkan penculik itu. Kau tahu seperti apa?” tanyanya.
“Aku tidak tahu.” jawabku. Setelah itu, Nat memintaku untuk mencarinya di google, dan hasilnya mengeluarkan sekitar 1500 link yang membahas tentang kejadian ini. Aku mengklik salah satunya. Lalu setelah itu kami berdua diam untuk membaca artikel yang cukup panjang tetapi tidak berhasil menemukan gambar yang kami cari.
Aku bergantian dengan Nat, sepertinya Nat sangat antusias dengan kejadian ini. Yah, Nat sangat suka memecahkan kasus. Dulu ia pernah membantu polisi untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di tempat kuliahnya, karena memang pada saat itu Nat yang dituduh. Dan hasilnya, kasus itu berhasil ia selesaikan dan membersihkan namanya dari tuduhan. Mungkin saja kasus kali ini begitu bisa ia pecahkan. Memang agak berlebihan, tapi siapa yang tahu?
Aku bersandar pada rak buku yang ada dibelakangku dan memandang keluar, ke rumah di seberang sana. Di sana adalah rumah bibi Ann, Anne White. Bibi Ann adalah satu-satunya tetangga terdekat kami. Ia sempat mengurus kami saat ayah meninggal. Tetapi, setelah beberapa lama, Nat memutuskan untuk hidup mandiri dan tidak ingin merepotkan Bibi Ann. Awalnya bibi Ann sempat khawatir, tetapi Nat meyakinkan. Tetapi itu bukan berarti memutuskan hubungan kami. Bibi Ann terkadang mengirimkan kami kue yang ia buat. Ia sangat ahli dalam membuat kue, dan semua kuenya terasa enak. Hingga saat ini aku belum menemukan kue yang rasanya seenak buatannya.
Sepertinya ia sedang sibuk, tidak tahu sibuk dengan apa, aku hanya memandanginya dari siluet yang ada di jendela. Sudah lama aku tidak pergi ke rumahnya, lagi pula bibi juga berjanji untuk mengajariku membuat kue. Ya, aku akan berkunjung kesana. Mungkin aku akan membawakan beberapa potong kue, aku akan membeli dulu besok.
“Ini dia!” ucap Nat dan kembali mengagetkaku. Sepertinya ia menemukan gambar yang ia cari. Aku berjalan mendekat untuk melihat symbol itu.
Simbol itu tidak asing, “Hmm, sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana ya?” ucapku mencoba mengingat. Ayolah ingat! “Ah, dibuku milik Holey!”
“Kau bercanda?” Tanya Nat tidak percaya.
“Aku serius. Akan kuambilkan. Tunggu sebentar!” Aku beranjak dari tempat itu dan berencana untuk mengambil buku milik Holley tapi sudut mataku menangkap sesuatu. Ada sesuatu yang terjadi di rumah bibi Ann. Aku tidak bisa melihat dengan jelas, jadi kuputuskan untuk melihat dari depan pintu.
Aku membuka sedikit pintu depan dan mengintip ke rumah yang tepat berada di depan rumah kami. Sepertinya ada tamu yang tak diundang, karena gerak-gerik bibi Ann tidak menunjukan kalau ia senang. Bibi Ann berusaha menutup pintu itu, tapi tamu itu memaksa masuk. Aku melihat dari siluet yang ada di jendela. Tunggu! Apa yang mereka lakukan? Aku pasti salah melihat. 2 orang tamu itu menghunuskan pisau ke perut bibi Ann? Tidak aku pasti salah lihat!!
Aku menunggu sambil terdiam di tempatku berdiri sekarang. Tidak lama setelah itu, pintu rumah itu pun terbuka. Tubuhku kaku, aku tidak bisa percaya dengan apa yang kulihat! Tidak! Tidak mungkin!!
Aku menutup pintu dengan cepat dan berjalan goyah ke ruang keluarga. Nat memandangku bingung. “Clare? Ada apa?” tanyanya sambil memegang kedua bahuku.
“Bibi Ann, bibi Ann..” badanku gemetar kuat, “bibi Ann dibunuh!”

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar